Selasa, 10 Maret 2009

Ponari, Akidah yang Terancam

Kefakiran mendatangkan kekufuran. Masyarakat makin frustasi, mereka tak lagi bertindak rasional. Ponari bukanlah fenomena semata, tapi problematika sosial dan dakwah yang tak tertangani di negeri ini.

Bak lampu Aladin, batu ajaib yang ditemukan Mohammad Ponari (9) sontak membuat kehidupan keluarganya berubah. Ponari tak lagi miskin. Dinding rumahnya yang semula terbuat dari gedek (bambu), kini telah berganti dengan batu bata. Tak hanya itu, jalan desa di Dusun Kedungsari, Megaluh, Jombang, Jawa Timur, yang sebelumnya berlapis tanah, kini berubah menjadi paving yang biaya pembangunannya diambil dari penjualan kupon antre senilai Rp1.000 per lembar.

Bahkan, Ponari kini sudah punya handphone baru. Di sekolah, ia asyik memainkan telepon selulernya. Yang jelas, tak hanya keluarga Ponari yang ketiban rezeki, sejumlah warga di sekitar kediaman Ponari, juga menuai untung secara ekonomi. Banyak warga yang mendirikan warung dadakan, menyediakan lahan parkir dan jasa komersil lainnya.

Hasil dari pengobatan air yang dicelup batu ajaib itu, tak pelak membuat Ponari dan keluarganya mampu mengeruk laba hingga miliaran rupiah. Bayangkan saja, sebanyak 50 ribu pasien datang menyerbu bocah yang duduk di bangku kelas III SD ini dari berbagai penjuru dengan menaruh harapan: sembuh dari penyakit yang dideritanya.

Jombang sepertinya tak pernah kehabisan berita yang membuat publik di negeri geger. Setelah kasus Ryan, sang penjagal, Ponari, tak lama kemudian muncul lagi seorang bocah bernama Dewi (12) warga Dusun Pakel Desa Brodot, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, Jombang, yang juga memiliki batu serupa dengan Ponari.

Selang beberapa hari, warga Jombang kembali dikejutkan oleh penemuan batu berbentuk ceper oleh Siti Nurrahmah (35) warga Tambakasri Tunggorono, Jombang, yang katanya bisa menangis dan minta tolong. Batu itu diyakini memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit

Sebagai orang beriman, sepatutnya kita peka melihat semua fenomena ini. Sepatutnya pula kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita? Mereka bukan hanya sakit secara jasmani, tapi juga rohani. Lalu dimana ulama? Inikah kegagalan dakwah kita? Fenomena Ponari adalah tamparan, bukan hanya pemerintah, tapi juga para ulama.

Lihatlah, betapa tidak rasionalnya, saat para pengunjung tak mendapatkan air kesembuhan dari dukun cilik Ponari, mereka mengambil apa saja yang ada di rumah Ponari. Mulai dari air sumur, air comberan, air hujan yang jatuh ke genting rumah Ponari, hingga tanah yang ada di pekarangan dukun cilik. Mereka percaya, tanah yang ada di rumah Ponari itu juga punya tuah dan bisa menyembuhkan penyakit.

Seperti diberitakan di media massa, kisah penemuan batu sebesar kepalan tangan anak-anak, berwarna coklat kemerahan itu cukup dramatis dan bernuansa mistis. Ponari mengisahkan, batu itu ditemukan secara tidak sengaja, yakni setelah Ponari tersambar petir saat hujan deras mengguyur desanya. Bersamaan suara petir yang menggelegar, kepalanya seperti dilempar benda keras.

Saat itu, Ponari mendapatkan sebuah batu yang menempel di kepalanya. Ada hawa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Bersamaan itu, Ponari melihat ada batu di bawah kakinya. Batu tersebut mengeluarkan sinar merah. Karena penasaran, batu itu dibawa pulang dan diletakkan di meja.. Konon batu tersebut sudah tiga kali dibuang, namun selalu kembali ke tangan Ponari.

Orang tua Ponari, Mukaromah dan Kamsin meminta anak semata wayangnya menyembuhkan salah satu kerabatnya yang saat itu sedang sakit demam tinggi. Tanpa dinyana, pasien pertamanya itu sembuh, termasuk pasien Ponari yang lumpuh. Mendengar keajaiban ini, tetangga sekitar yang sedang sakit mencoba untuk disembuhkan. Semuanya sembuh setelah minum air rendaman batu Ponari.

Penyimpangan

Ada keyakinan menyimpang, saat Ponari mengatakan, batu ajaib itu ditunggu dua makhluk gaib, laki-laki dan perempuan bernama Rono dan Rani. Dua makhluk gaib itulah yang selama ini memberikan amanat kepada Ponari untuk menolong orang sakit melalui batu yang ditemukan pertengahan Januari lalu. Ponari juga sempat menyatakan mampu menghentikan semburan lumpur Lapindo jika batu ajaib itu dibuang ke sana.

Sebetulnya, polisi telah berupaya untuk menghindari praktik syirik ini berlangsung. Terlebih, saat dua pasien Ponari meninggal dunia akibat kelelahan berdesak-desakan dalam antrean. Oleh polisi, sumur milik cilik Ponari dirusak. Bahkan batu sakti yang dinyakini mampu mengobati segala macam penyakit itu rencananya akan dibuang. Alhasil polisi kewalahan membubarkan ribuan warga yang masih mengantre untuk mendapatkan pengobatan Ponari.

Akibat calon pasien tak bisa menemui Ponari, mereka kian frustasi. Setelah pompa sumur dirusak, mereka kembali berebut air comberan yang ada di sekitar sumur dan pembuangan kamar mandi. Air yang berwarna keruh itu diambil warga dengan menggunakan alat seadanya, dan memasukkan ke wadah yang mereka bawa.

Setelah habis air comberan itu, warga kembali mencari air yang ada di dekat rumah Ponari. Kali ini, sasarannya adalah sumur milik tetangga Ponari, yang rumahnya berada persis di belakang rumah Ponari.

Ratusan orang berebut meminta air sumurnya dan mereka selalu memberikan imbalan uang jasa. Air kotor itu lalu dibawa pulang ke rumah, untuk diberikan ke anggota keluarganya yang mengidap penyakit menahun. Bukan hanya air comberan, tak sedikit pula yang menampung air hujan dari talang rumah Ponari untuk dibawa pulang.

Fenomena Ponari adalah drama sekaligus potret kehidupan rakyat miskin yang berebut rezeki. Kamesin, ayah Ponari yang sehari-hari bermata pencaharian sebagai pencari siput, melarang anaknya membuka praktik, malah dianiaya kerabatnya sendiri. Kamesin mengaku jarang bertemu istri dan buah hatinya, karena Ponari sibuk melayani pasiennya.

Ponari pun jadi rebutan. Maklum saja, praktik pengobatan Ponari mampu meraup uang amal di keropak nyaris mencapai Rp1 miliar. Uang itu kini disimpan di rekening salah satu bank di Jombang atas nama Mukaromah, ibu kandung Ponari.

Kegagalan Dakwah

Ada beberapa alasan, kenapa masyarakat memilih pengobatan alternatif. Pertama, biaya pengobatan yang mahal, dokter yang sering salah melakukan diagnosa, belum lagi malpraktik, salah obat dan sebagainya. Ada kesan yang demikian ironi: “Orang miskin dilarang sakit”. Tak heran, bila masyarakat miskin makin frustasi, tidak ada kepastian, sehingga membuat mereka menjadi irasional.

Dikatakan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan, aparat harus serius menangani fenomena Ponari. Kelak akan muncul Ponari-ponari yang lain. Bila seseorang meyakini, ada kekuatan lain selain Allah, jelas itu syirik.

“Masyarakat kita terjebak lingkaran setan. Mereka bukan hanya terbelakang, tapi juga miskin. Untuk itu perlu pendidikan yang memadai. Saya sudah minta ulama setempat, untuk melakukan penyadaran dan pemahaman yang benar. Tapi MUI tidak perlu mengeluarkan fatwa haram. Terlalu penting jika MUI menangangi itu.”

Sementara itu dikatakan Guru Besar Antropolog UI, Achmad Fedyani Saefuddin, fenomena Ponari hanyalah ‘simptom’ (dalam istilah kedokteran, seperti benjolan-benjolan mendekati sakit pada tubuh seseorang). Kasus Ponari, bukanlah gejala masyarakat Jawa atau kelompok masyarakat tertentu, tapi universal. Bukan hanya di Indonesia, di Amerika pun terjadi.

“Masyarakat bukannya tidak mau tahu soal pengobatan modern. Sebetulnya mereka ingin sekali datang ke dokter spesialis. Cuma karena biayanya mahal, terpaksa mencari pengobatan alternatif yang dari segi biaya terjangkau. Kalau mereka punya uang, pasti ke dokter,” ujar Fedyani.

Fenomena Ponari adalah indikator pemerintah yang tak tanggap menangani krisis yang terjadi di tengah masyarakat kita. “Ada ketidakpastian yang meningkat dalam masyakakat kita sekarang ini. Setiap tahun, masyarakat menengah ke bawah merasakan hidup semakin tidak jelas. Begitu juga dengan masa depannya. Hati-hati, ini tanda atau isyarat bahwa masyarakat kita sedang bingung, sakit. Sebagai Muslim yang baik, ini adalah fenomena yang berbahaya dan menyimpang.”

Untuk bisa melepaskan hal-hal yang irasional, Fedyani menjelaskan, ada beberapa kemungkinan yang bisa mengatasi krisis ini, yakni: meningkatnya taraf hidup, sehingga masyarakat punya kemampuan untuk berobat dan menyisihkan uang setiap bulannya untuk tabungan kesehatan bagi keluarganya. Ini harus dibarengi dengan meningkatnya tingkat pendidikan, dan kualitas dalam beragama.

Dalam Islam, kefakiran akan mendatangkan kekufuran. Sebab itu, pemerintah harus buka mata dan telinga. Kita harus peka, kasus Ponari bukan sekadar persoalan dukun yang dipercayai, tapi menjadi problem sosial yang kompleks dan perlu penanganan serius.”

Fedyani mengingatkan, maraknya keberadaan dukun harusnya membuat kita semakin hati-hati. Ia melihatnya, negeri ini sedang berada dalam kondisi krisis yang meningkat. Bukan hanya kemiskinan yang meningkat, tapi juga ketidakpastian hukum.

“Dalam penelitian saya, menjelang pemilu, makin banyak caleg yang datang ke dukun untuk minta diramal: menang atau tidak. Ini celah-celah dimana kita harus peka dan ditantang untuk merubahnya.”

Fenomena Ponari adalah bahaya yang dapat mengancam akidah. Jombang Hal yang mendesak adalah segera perbaiki taraf hidup masyarakat, berikan pelayanan medis dengan biaya terjangkau, dan tanamkan akidah yang kuat. Inilah prioritas dakwah kita semua.
Oleh Adhes Satria
Read More..